Menjebak Pencuri Mangga
Entah
ide apa yang ada akan dilakukan Roni. Saat ini, ia sangat kesal dengan ulah
pencuri mangga. Meskipun sudah diberi pagar berduri, pencuri masih tetap nekat
“membersihkan” pohon mangga yang lebat berbuah. Padahal, roni dan ayahnya susah
payah merawat pohon mangganya.
“Yah, nanti malam kita coba menjebak pencuri. Sudah saatnya kita bertindak. Pencuri mangga itu sudah keterlaluan,” usul Roni. Ayahnya setuju.
Malam
yang dinantikan tiba. Sehabis salat berjamaah di masjid, Roni dan ayahnya
mengendap-endap di balik gubuk kecil —tempat melepas lelah— yang tidak jauh
dari pohon mangga. Keadaan di sekeliling cukup gelap.
Kresek! Tiba-tiba terdengar suara. Di bawah sinar bulan yang samar-samar, dua sosok tampak mendekati pohon mangga. Gerak-geriknya mencurigakan.
“Ini dia pencurinya,” gumam Roni.
Semakin
dekat, sosok itu kian jelas. Dua orang anak. Yang satu agak tinggi dan satunya
lagi agak pendek sambil membawa karung plastik. Anak yang bertubuh tinggi
membawa bambu yang ujungnya bercabang. Mungkin untuk memudahkan mengambil
mangga itu.
“Uh, dasar pencuri licik! Kita sudah lelah merawatnya, eh sudah berbuah dengan seenaknya mereka mengambil mangga,” bisik Roni kepada ayahnya.
“Perhatikan baik-baik dua anak itu. Siapa mereka?” bisik ayah.
“Uh, dasar pencuri licik! Kita sudah lelah merawatnya, eh sudah berbuah dengan seenaknya mereka mengambil mangga,” bisik Roni kepada ayahnya.
“Perhatikan baik-baik dua anak itu. Siapa mereka?” bisik ayah.
Tiba-tiba,
ide menjebak pencuri mangga itu hilang.
Roni sangat kenal dengan dua anak itu. Ia sering bermain dang mengaji bersama di masjid. Roni dan ayahnya tidak sampai hati menjebak dan menangkap mereka. Akhirnya, anak dan ayah itu membiarkan kedua pencuri itu leluasa mengambil mangga.
“Kita pulang saja,” usul ayah.
Sambil menggandeng Roni, ayah berrbisik, “Ron, kita lihat dan tanyai saja besok pagi. Mereka kan sering melewati rumah kita.”
“Setuju!” timpal Roni.
Roni sangat kenal dengan dua anak itu. Ia sering bermain dang mengaji bersama di masjid. Roni dan ayahnya tidak sampai hati menjebak dan menangkap mereka. Akhirnya, anak dan ayah itu membiarkan kedua pencuri itu leluasa mengambil mangga.
“Kita pulang saja,” usul ayah.
Sambil menggandeng Roni, ayah berrbisik, “Ron, kita lihat dan tanyai saja besok pagi. Mereka kan sering melewati rumah kita.”
“Setuju!” timpal Roni.
Benar
apa yang diduga, sehabis shalat Subuh, Roni dan ayah mengintip di balik kaca
jendela. Udin dan Dudi membawa setengah karung plastik mangga.
“Mungkin, mereka akan ke pasar, menjual mangga-mangga itu,” bisik ayah kepada Roni. “Kasihan mereka. Ibunya sedang sakit keras. Ayah dengan Pak RT pernah menengoknya.”
“Kita juga merasa bersalah sebab membiarkan tetangga yang sedang sakit keras. Kita hanya memikirkan diri sendiri,” sesal ayah. Roni terdiam.
“Nanti siang, kita ke rumah Udin dan Dudi lagi ya, Yah. Roni kira ibu Udin dan Dudi tidak sedang sakit sebab mereka kalau mereka mengaji di masjid tidak pernah bercerita,” kata Roni, yang kini mulai mengerti mengapa ayah kurang bersemangat dengan ide Roni; menjebak pencuri mangga.
“Mungkin, mereka akan ke pasar, menjual mangga-mangga itu,” bisik ayah kepada Roni. “Kasihan mereka. Ibunya sedang sakit keras. Ayah dengan Pak RT pernah menengoknya.”
“Kita juga merasa bersalah sebab membiarkan tetangga yang sedang sakit keras. Kita hanya memikirkan diri sendiri,” sesal ayah. Roni terdiam.
“Nanti siang, kita ke rumah Udin dan Dudi lagi ya, Yah. Roni kira ibu Udin dan Dudi tidak sedang sakit sebab mereka kalau mereka mengaji di masjid tidak pernah bercerita,” kata Roni, yang kini mulai mengerti mengapa ayah kurang bersemangat dengan ide Roni; menjebak pencuri mangga.
“Iya, sekalian ajak Ibu.”
“Oya, Yah, bukannnya mencuri itu di larang agama?”
“Betul, tetapi Udin dan Dudi mungkin terpaksa mencuri untuk menolong ibunya yang sedang sakit dan sangat membuuthkan biaya obat.”
Siang
itu, ayah, ibu, dan Roni mengunjungi rumah Udin dan Dudi. Di sudut ruangan, ada
dipan yang tampak kusam. Di atasnya, tubuh kurus tengah berbaring lemas.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!”
Ketika
pintu dibuka, Udin dan Dudi mendadak pucat. Ada rasa takut pada raut wajahnya.
Roni mencoba menenangkan mereka.
“Kok nggak pernah ngasih tahu kalau Ibu kalian sakit?” ujar Roni mengalihkan perhatian. Di sudut ruangan, tampak kerabat orang tua Roni sedang berdoa demi kesembuhan ibu Udin dan Dudi.
“Kok nggak pernah ngasih tahu kalau Ibu kalian sakit?” ujar Roni mengalihkan perhatian. Di sudut ruangan, tampak kerabat orang tua Roni sedang berdoa demi kesembuhan ibu Udin dan Dudi.
Udin dan Dudi masih tampak ketakutan. Tingkahnya sangat kaku.
“Ma … ma … kami, Ron,” ucap Dudi gugup.
“Kamilah yang mencuri mangga-mangga milikmu. Kami terpaksa karena kehabisan uang untuk membeli obat,” sesal Udin.
“Kami menyesal,” tambah Dudi sambil tertunduk lesu.
“Sudahlah, aku sekeluarga sudah memaafkan kalian, tetapi jangan diulangi lagi. Bukankah Pak Ustad pernah bilang, kalau mencuri itu perbuatan yang tidak diridai Allah?”
Sepulang
dari rumah Udin dan Dudi, keluarga Roni merasa terharu, sekaligus bahagia sebab
sekarang semua warga tahu kalau ibu Udin dan Dudi sakit keras. Atas inisiatif
warga, termasuk keluarga Roni, ibu Udin dan Dudi kini mendapat perawatan di
rumah sakit.
“Semoga
Allah memberi ketabahan dan kekuatan bagi keluarga Udin dan Dudi,” doa Roni
sehabis shalat malam.
Cerpen
Karangan: Edi Warsidi
Facebook: Edi Warsidi
Facebook: Edi Warsidi
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/menjebak-pencuri-mangga.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan anda berikan komentar diharapkan menggunakan kata-kata yang baik, dan jika menggunakan kata-kata yang tidak baik dengan terpaksa akan dihapus dan yang mau mengambil atau meng-copypaste artikel ini diperkenan dengan menyebutkan sumber. Atas kerjasama dan kunjungan anda diucapkan terima kasih.
Tema Blog "Semakin banyak teman akan semakin bagus makin banyak orang yang mendoakan kita"